Sumenep, infojalanan.info -
Pagi ini, perairan Kangean kembali diselimuti ketegangan. Ratusan nelayan tradisional memilih bersiaga di lautan setelah terlihat empat kapal besar dan empat kapal kecil yang diduga kuat milik PT Kangean Energy Indonesia (KEI) beraktivitas di sekitar wilayah tangkapan mereka.
Kehadiran kapal-kapal itu sontak memantik keresahan. Bagi nelayan tradisional, laut Kangean bukan sekadar hamparan air, melainkan sumber hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka khawatir aktivitas tersebut merupakan bagian dari kegiatan seismik atau eksplorasi yang berpotensi merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan mata pencaharian.
Ingat masih segar dalam ingatan, beberapa hari lalu sebanyak 112 perahu nelayan tradisional turun langsung ke laut dalam sebuah demonstrasi besar-besaran. Mereka berlayar bersama, menghadang sekaligus mengusir kapal-kapal yang diduga melakukan aktivitas seismik. Aksi itu menjadi sinyal kuat bahwa nelayan Kangean tidak tinggal diam ketika ruang hidupnya terusik.
Namun pagi ini, kapal-kapal yang sama kembali muncul. Bagi masyarakat, hal itu dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap perjuangan mereka.
Tokoh masyarakat Kangean, Nurullah, menilai langkah PT KEI justru memperuncing keadaan. Alih-alih membuka ruang dialog dengan masyarakat, kehadiran kapal tersebut justru dipandang sebagai tindakan memancing amarah.
“Yang dilakukan PT KEI ini bukan komunikasi, tapi tantangan terbuka bagi masyarakat. Bagaimana nelayan tidak tersulut, kalau beberapa hari lalu sudah turun ke laut, sekarang kapal itu muncul lagi seolah tanpa peduli? Kalau pemerintah terus berdiam diri, jangan salahkan masyarakat jika mereka lepas kontrol,” tegas Nurullah.
Ia menambahkan, pemerintah pusat maupun daerah tidak boleh menutup mata terhadap kondisi yang kian genting ini. Minimal, kata Nurullah, harus ada upaya mediasi yang konkret agar masyarakat tidak merasa dibiarkan menderita sendirian.
“Nelayan ini bukan penentang pembangunan, mereka hanya ingin hak hidupnya dijaga. Pemerintah jangan sampai terlihat seolah lebih berpihak pada perusahaan daripada rakyat kecil. Kalau dibiarkan, ketegangan bisa berubah menjadi konflik terbuka di laut,” sambungnya.
Keresahan nelayan Kangean bukan tanpa alasan. Selama bertahun-tahun, isu eksplorasi migas di kawasan itu selalu menimbulkan gelombang protes. Nelayan menilai setiap aktivitas seismik berpotensi mengganggu ekosistem laut yang menjadi sumber utama hasil tangkapan mereka. Jika tangkapan berkurang, maka hilang pula nafkah harian yang menjadi penopang keluarga.
Kondisi inilah yang kini membuat masyarakat kembali waspada. Mereka khawatir, jika aktivitas kapal PT KEI tidak segera dihentikan atau diklarifikasi secara terbuka, maka aksi-aksi serupa akan terus bermunculan.
“Pemerintah pusat, pemerintah daerah, semua harus hadir. Jangan tunggu amarah masyarakat memuncak. Lebih baik duduk bersama, cari solusi, daripada membiarkan masalah ini melebar,” pungkas Nurullah.
Hingga berita ini dinaikkan, tim media masih berupaya meminta keterangan resmi dari pihak PT KEI. Sementara itu, nelayan Kangean memilih tetap siaga di laut, menunggu kepastian dari pihak berwenang, dengan satu pesan yang sama: “Laut adalah hidup kami, jangan biarkan dirampas dengan dalih pembangunan.”
(Red)