• Jelajahi

    Copyright © Info Jalanan
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Halaman

    Kebijakan Kelas 50 Siswa: Antara Akses & Mutu Pendidikan vs Efisiensi & Pemerataan

    Sabtu, 12 Juli 2025, Juli 12, 2025 WIB Last Updated 2025-07-12T02:18:29Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     


    Oleh:


    Dr. Ijang Faisal, M.Si


    Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Bandung


     


    INFOJALANAN.INFO - Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 463.1/Kep.323‑Disdik/2025, yang menetapkan batas maksimal 50 siswa per rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri tingkat SMA/SMK sebagai bagian dari program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) serta dalam rangka merespons lonjakan pendaftar PPDB serta keterbatasan daya tampung sekolah negeri, telah menimbulkan gelombang perdebatan di tengah masyarakat.


    Satu pihak menolak dan menilai kebijakan tersebut telah melanggar prinsip ideal dalam pembelajaran yang berkualitas. bahwa jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas akan mengorbankan kualitas pembelajaran dan dalam jangka panjang, dapat menurunkan kualitas lulusan sekolah negeri dan memperlebar ketimpangan dengan sekolah swasta elit.


    Kritik lain juga datang dari aspek beban kerja guru dan kesehatan mental siswa. Kelas yang terlalu padat menciptakan suasana tidak kondusif untuk belajar, menambah stres, dan menurunkan motivasi. Di sisi guru, manajemen kelas menjadi tantangan besar, apalagi jika tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan pelatihan profesional. Bila tidak disertai dukungan sistemik, kebijakan ini bisa berujung pada kelelahan kronis bagi tenaga pendidik.


    Sementara pihak pihak yang mendukung menilai kebijakan ini sebagai langkah keberpihakan terhadap keadilan sosial. Dalam konteks PPDB yang setiap tahun menyisakan ribuan siswa tidak tertampung, kebijakan membuka kuota rombel hingga 50 siswa dinilai sebagai solusi sementara yang berpihak pada hak dasar warga negara untuk mengakses pendidikan.


    Bagi orang tua dari keluarga kurang mampu, sekolah negeri adalah satu-satunya harapan. Maka, kebijakan ini dianggap sebagai upaya konkret membuka jalan bagi anak-anak dari lapisan bawah untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan di sekolah negeri.


    Selain itu, kebijakan tersebut dianggap sebagai bentuk efisiensi pragmatis. Pembangunan sekolah baru membutuhkan waktu, anggaran, dan tenaga kerja yang tidak sedikit. Sementara lonjakan peserta didik adalah masalah tahunan yang terus berulang.


    Dalam situasi seperti ini, mengoptimalkan ruang dan kapasitas yang ada dinilai lebih realistis ketimbang membiarkan ribuan anak tidak sekolah hanya karena terganjal batas rombel maksimal 36 siswa.


    Namun, di balik pro dan kontra yang berkembang, patut disimak dengan lebih jernih: apakah kebijakan ini semata-mata bentuk pembiaran terhadap kualitas pendidikan, atau justru bagian dari strategi jangka pendek untuk mengatasi problem mendesak yang lebih besar?


    Pro dan kontra di atas memperlihatkan bahwa persoalan pendidikan tidak bisa disederhanakan hanya pada angka. Keduanya sah dan mencerminkan kekhawatiran maupun harapan yang beralasan. Maka, yang dibutuhkan hari ini adalah pendekatan kebijakan yang berani namun terukur.


    Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu memastikan bahwa peningkatan jumlah siswa dalam rombel tidak akan mengorbankan kualitas, misalnya dengan menambah asisten guru, mendorong inovasi pembelajaran berbasis teknologi, serta mempercepat pembangunan ruang kelas dan perekrutan guru baru. Selain itu, keterlibatan masyarakat, komite sekolah, dan organisasi profesi guru dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya degradasi kualitas pendidikan.


    Dalam situasi PPDB yang penuh dengan tekanan akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri dan tingginya jumlah lulusan SMP tiap tahunnya, pemerintah provinsi dihadapkan pada dilema klasik: mempertahankan idealisme kapasitas kelas 36 siswa atau menolak sebagian besar calon peserta didik.


    Dengan menaikkan batas maksimal menjadi 50 siswa per kelas, sepertinya Gubernur KDM sedang mencoba membuka ruang bagi ribuan anak yang sebelumnya terancam tidak mendapatkan kursi di sekolah negeri, khususnya di wilayah perkotaan dan padat penduduk seperti Bandung, Bekasi, dan Bogor tahun ini dapat kebagian kursi sekolah negeri.


    Kebijakan ini juga menjadi langkah efisiensi anggaran dan fasilitas. Dalam kondisi keterbatasan ruang kelas, tenaga pengajar, dan anggaran pembangunan infrastruktur baru, pendekatan ini dapat dipandang sebagai solusi pragmatis untuk menampung lonjakan peserta didik tanpa harus menunggu pembangunan sekolah baru yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.


    Tentu ini bukan solusi ideal, namun dalam konteks darurat dan transisi, kebijakan seperti ini telah menunjukkan keberanian pemimpin daerah untuk mengambil keputusan yang tidak populer demi menjawab kebutuhan rakyat banyak.


    Lebih jauh, penulis menilai pendekatan ini justru bisa menjadi pemicu lahirnya reformasi tata kelola Pendidikan yang revolusioner. Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat disertai dengan penguatan metode pembelajaran kolaboratif, pemanfaatan teknologi pembelajaran daring, serta pelatihan guru untuk mampu mengelola kelas besar.


    Jika dievaluasi dan dimonitor secara ketat, kebijakan ini dapat menjadi dasar untuk memperbaiki ketimpangan distribusi sekolah dan tenaga pendidik yang selama ini tidak merata.


    Pada akhirnya, akses dan mutu pendidikan adalah dua sisi mata uang yang sama pentingnya. Kebijakan Gubernur KDM telah membuka ruang diskusi nasional yang penting: bagaimana kita memastikan semua anak bisa bersekolah tanpa menurunkan standar kualitas pendidikan? Inilah tantangan bersama yang tak cukup dijawab dengan satu keputusan gubernur saja, melainkan dengan gotong royong seluruh elemen bangsa mencari solusi progresif yang inklusif.


    Kritik terhadap kebijakan ini sah-sah saja, terutama dari perspektif kualitas interaksi guru dan murid. Namun, harus disadari bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh jumlah siswa per kelas, tetapi juga oleh komitmen pemerintah dalam memastikan proses belajar berjalan efektif, terlepas dari jumlah peserta didiknya.


    Dalam kondisi ideal, tentu kita ingin semua siswa belajar dalam rombel yang kecil, nyaman, dan mendukung pertumbuhan kognitif serta afektif secara optimal. Namun, dalam kondisi faktual di lapangan hari ini-dimana ribuan siswa terancam tidak bisa bersekolah hanya karena kuota rombel maksimal 36, maka solusi sementara dengan menaikkan kapasitas rombel layak dipahami sebagai langkah manusiawi dan solutif.


    Sebagai warga Jawa Barat, alih-alih hanya menyudutkan kebijakan pemimpin, kita justru harus mendorong agar kebijakan ini diikuti dengan reformasi struktural, seperti percepatan pembangunan ruang kelas baru, rekrutmen guru honorer, hingga pendanaan pendidikan yang lebih memadai. Di sinilah pentingnya pengawasan publik dan keterlibatan masyarakat dalam mengawal implementasi kebijakan ini agar tidak berujung pada kompromi kualitas.


    Kebijakan menaikkan kapasitas kelas bukanlah akhir, melainkan jembatan menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Dan setiap jembatan yang kokoh, selalu diawali dari pijakan pertama yang berani. Wallahu’alam.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini