Sidoarjo -Tindakan yang semena-mena dalam upaya menjalin kerjasama dengan para awak media yang diwadahi oleh Lapas kelas IIA Sidoarjo diduga "Tebang Pilih dan Beraroma Tak Sedap".
Dalam konteks ini, dugaan tersebut bukan hanya mencerminkan kebijakan pengelolaan informasi yang lemah, tetapi juga menyoroti sejumlah masalah sistemik dalam hubungan antara lembaga pemasyarakatan dan media.
Tebang pilih dan aroma tak sedap sumbernya berasal dari Kalapas Sidoarjo, di mana hal ini ditindaklanjuti oleh Febri Adi Susanto, Staff Humas, dalam proses merekrut awak media.
Proses tersebut tidak tampak adil dan terbuka, seakan-akan ada kedekatan tertentu yang menyebabkan sebagian media diabaikan, sementara yang lain dipilih dengan kebutuhan yang kurang jelas.
Dalam hal ini, kekhawatiran muncul bahwa sebagian besar awak media yang terlibat tidak sungguh-sungguh siap untuk memberikan pemberitaan yang objektif, melainkan terlibat atas dasar koneksi dan bukan kompetensi.
Menurut Febri, perekrutan Awak Media dalam rangka menjalin kerjasama dengan Lapas Kelas IIA Sidoarjo untuk menaikkan pemberitaan terpaksa dibatasi, dikarenakan ada efisiensi anggaran yang diklaim menjadi prioritas.
Namun, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: Apakah efisiensi anggaran ini berujung pada pengurangan kualitas komunikasi antara Lapas dan media? Bagaimana jika dalam upaya untuk penghematan tersebut, pesan penting yang seharusnya disampaikan kepada publik menjadi terdistorsi atau tidak tersampaikan sama sekali? Dengan kata lain, efisiensi anggaran tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengorbankan transparansi dan akuntabilitas.
Dari pernyataan Febri tentang efisiensi anggaran, berarti pihak Lapas Kelas IIA selama ini telah mengeluarkan anggaran atau atensi untuk masing-masing awak media. Namun, kualitas dan produktivitas kerjasama tersebut perlu dievaluasi secara objektif, apakah investasi yang diberikan pemerintah kepada media benar-benar memberikan dampak positif dalam hal pemberitaan dan penyampaian informasi.
Hal ini menuntut adanya evaluasi menyeluruh dan keterbukaan dalam pertanggungjawaban.
Berangkat dari hal atensi, berarti negara sudah mempersiapkan anggaran; namun, pihak Lapas Kelas IIA Sidoarjo tidak transparan mengenai besaran anggaran yang diterima dari negara untuk ditunjukkan secara terbuka kepada media. Transparansi ini sangat penting agar proses perekrutan awak media menjadi dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan finansial.
Dengan demikian, upaya untuk pengurangan jumlah awak media yang melakukan kerjasama dapat dihitung secara otentik dan berdasar, serta memberikan kejelasan mengenai apakah kouta atau batasan yang diberlakukan juga sudah sesuai dengan anggaran yang diberikan negara kepada media. (Red)