Infojalanan.info
- Di ujung peta Jawa Timur, ketika banyak daerah berlomba berbicara tentang kecerdasan buatan dan sekolah digital, ada suara yang masih teredam gelombang laut. Suara itu datang dari Kangean—sebuah gugusan pulau yang indah, namun seolah terlalu jauh untuk diingat dalam buku besar pembangunan pendidikan.
Di sini, sekolah bukan sekadar gedung dan materi pelajaran—melainkan harapan yang setiap hari harus menantang ombak.
Guru datang tidak hanya membawa absen dan buku ajar, tapi juga keteguhan hati. Mereka mengetahui betul, ketika kapal tak berlayar karena cuaca buruk, maka kelas sepi adalah keniscayaan. Anak-anak pun memahami: kadang hari belajar mereka ditentukan oleh gelombang.
Namun lihatlah mata mereka—mata yang tidak pernah putus bermimpi. Meski jaringan internet lebih sering hilang daripada muncul, meski buku pelajaran tak pernah baru, meski fasilitas kadang hanya tinggal nama, mereka tetap duduk rapi, menunggu masa depan.
Pertanyaan telak yang perlu kita jawab bersama:
Kenapa jarak masih menentukan kualitas pendidikan?
Apakah adil, anak yang lahir di pulau harus “menerima” pendidikan apa adanya?
Kangean tidak tersisih karena kurang semangat. Mereka hanya kurang disentuh kebijakan. Sementara di kota, fasilitas berlimpah, di pulau ini guru menulis strategi belajar di atas kesederhanaan.
Sudah terlalu sering kepulauan disebut sebagai “pinggiran”. Padahal di pulau-pulau seperti Kangean, masa depan Indonesia sedang tumbuh tanpa banyak sorotan. Mereka berhak mendapatkan panggung yang sama; berhak menjadi hebat tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran.
Jika negara benar-benar ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka cahaya pendidikan harus menyinari sampai ke tempat yang paling sulit dijangkau oleh sepatu pejabat:
ke ruang kelas yang dindingnya mencium angin laut,
ke buku yang sudah menguning,
ke hati anak-anak yang tak mau menyerah pada nasib.
Kangean tidak meminta belas kasihan. Yang mereka minta hanya kesempatan.
Satu jembatan kecil menuju masa depan—bukan jembatan dari beton, tapi dari perhatian dan keberpihakan.
Karena Indonesia baru bisa disebut maju,
ketika anak di pulau paling jauh
punya peluang yang sama untuk menjadi bintang.
Oleh : Yanto
.jpg)