Sumenep, infojalanan.info -
Ratusan masyarakat Kepulauan Kangean berkumpul di Alun-Alun Arjasa pada Minggu pagi (2 November 2025) dalam kegiatan Doa Bersama dan Munajat untuk Keselamatan Kangean. Agenda yang diprakarsai oleh Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi’iyah (IKSAS) Rayon Kangean ini merefleksikan sinergi antara kesadaran keagamaan dan kepedulian ekologis masyarakat pesisir terhadap ancaman kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri migas oleh PT KEI–SKK Migas di kawasan kepulauan.
Kegiatan tersebut menegaskan bahwa masyarakat Kangean tidak hanya melihat laut sebagai entitas ekonomi, melainkan juga sebagai ruang ekologis, sosial, dan spiritual. Dalam konteks itu, doa bersama menjadi bentuk artikulasi moral terhadap kebijakan pembangunan yang dinilai belum mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut serta hak-hak masyarakat lokal.
Ketua IKSAS Rayon Kangean, Ustadz Mahmudi, dalam sambutannya menyatakan bahwa perlawanan masyarakat bukan bersifat konfrontatif, melainkan partisipatif dan berbasis nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, pembangunan sejatinya harus selaras dengan prinsip sustainable development—yakni kemajuan ekonomi yang tidak mengorbankan keseimbangan ekologis dan kesejahteraan sosial.
“Kangean membutuhkan pembangunan yang inklusif, bukan yang eksploitatif. Kami berdoa agar setiap kebijakan energi berpihak pada kelestarian alam dan keadilan bagi masyarakat pesisir,” ujarnya.
Ritual doa dan istighosah yang dipimpin oleh para kiai dan tokoh agama berlangsung penuh kekhidmatan. Dalam perspektif sosiologis, momentum tersebut menggambarkan proses internalisasi nilai spiritual sebagai mekanisme resistensi kultural terhadap industrialisasi yang berpotensi destruktif. Masyarakat menggunakan pendekatan religius bukan hanya sebagai ekspresi iman, tetapi juga sebagai strategi moral untuk menegaskan hak ekologis mereka.
Para nelayan dan tokoh masyarakat yang hadir menyerukan perlunya pendekatan eco-humanistic dalam tata kelola sumber daya alam. Mereka menilai bahwa eksploitasi migas di kawasan rentan seperti Kangean dapat memicu disrupsi ekologis, mengancam ketahanan pangan, dan memperlebar kesenjangan sosial ekonomi. Oleh karena itu, mereka meminta negara untuk meninjau ulang kebijakan yang berdampak langsung terhadap keberlanjutan ruang hidup masyarakat kepulauan.
Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan doa keselamatan bagi Kangean dan seluruh masyarakat maritim Indonesia. Secara simbolik, doa tersebut menjadi wujud solidaritas kolektif dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, ekologis, dan spiritualitas lokal. Gerakan ini sekaligus menegaskan bahwa kesadaran lingkungan tidak selalu lahir dari wacana teknokratik, tetapi dapat berakar kuat dari kearifan religius dan budaya masyarakat pesisir.
(Yanto)




